Jadilah Agen Perubahan untuk Melawan Talasemia

Pada 26 Mei 2024, Tzu Chi Hospital mengadakan workshop kesehatan dengan tema “Be Aware, Share and Care about Thalassemia” di Auditorium Tzu Chi Hospital, Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Talasemia pada 8 Mei lalu. Sebanyak 92 peserta mengikuti workshop ini, yang terdiri dari tenaga medis rumah sakit dan puskesmas wilayah Jakarta dan sekitarnya.

“Semoga acara pagi ini bermanfaat bagi masyarakat luas untuk mengetahui tentang talasemia, karena Indonesia ini termasuk dalam sabuk talasemia. Banyak kasus talasemia di masyarakat dan sebagian belum terdeteksi karena mungkin salah satunya adalah pengetahuan tentang penyakit ini sendiri,” ucap Dr. Suriyanto, Direktur Medis Tzu Chi Hospital.

Acara dibuka dengan penampilan shou yu atau bahasa isyarat tangan yang diperagakan oleh relawan medis Tzu Chi Hospital. Membawakan sebuah lagu mandarin berjudul "让爱传出去" yang berarti “Let Love be Spread”, lirik dalam lagu tersebut menginspirasi untuk berbagi cinta kasih universal dan kebaikan kepada sesama di dunia.

Workshop ini menghadirkan para pembicara yang ahli di bidangnya, yaitu Dr. Anky Tri Rini Kusumaning Edhy, Sp.A, Subsp. HO, Dokter Spesialis Anak Konsultan Hematologi Onkologi Anak; Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A, Subsp. HO, M.H.A, Ketua Tim Transplantasi Sel Punca Darah dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Hematologi Onkologi Anak; Dr. Reganedgary Jonlean, Dokter Umum Kepala Transfusi Talasemia; dan Ns. Hestu Anggraini, S.Kep, Perawat Unit Talasemia.

Materi yang dibahas cukup lengkap mengenai apa itu talasemia, bagaimana proses transplantasi sel punca hematopoietik pada talasemia, deteksi dan tatalaksana talasemia, serta asuhan kerawatan talasemia dan prosedur transfusi darah. Menariknya, peserta juga diajak untuk terlibat aktif dalam diskusi kelompok dan mendiskusikan sejumlah studi kasus terkait talasemia.


Talasemia bukan halangan untuk maju

Acara ini turut menghadirkan survivor talasemia untuk berbagi kisah inspiratif dan motivasi, yaitu Caecillia Maria Natasha dan Fadel Nooriandi dari komunitas Thalassemia Movement. Caecillia Maria Natasha, atau yang akrab disapa Tasha, didiagnosis talasemia sejak umur satu tahun. Kelainan ini menyebabkan Tasha kecil wajahnya menjadi kuning dan ukuran kepalanya lebih besar dari yang semestinya. Pada saat itu, Tasha bercerita, di tahun 1995 talasemia masih sangat jarang sehingga dia mendapat diagnosis beragam, mulai dari penyakit kuning sampai sempat dianggap hidrosefalus.

“Pada saat itu akhirnya dicek karena Hb saya rendah sekitar 3 atau 4, di-screening lebih dalam akhirnya baru ketahuan talasemia beta mayor,” ujar Tasha.

Fadel juga berbagi kisah bagaimana dia terdiagnosis talasemia di umur 8 bulan. “Awal mula terdiagnosis talasemia ibu aku sempat bingung, karena teknologi dulu belum secanggih sekarang. Sudah sempat dibawa ke Singapura kok gak ketemu hasilnya, ternyata pas ketemu salah satu dokter dicek semua, ternyata aku ada talasemia. Awalnya ibu aku sempat bingung talasemia itu apa, karena tiap dua minggu sekali disuruh transfusi darah. Kemudian pas dijelasin talasemia itu apa, langsung ibu dan ayahku screening juga. Barulah saat itu aku terdeteksi talasemia mayor. Tapi, alhamdulillah, aku punya adik cuma pembawa gen talasemia saja,” kenang Fadel, yang kini umurnya hampir menginjak 31 tahun.

Tumbuh bersama talasemia, Tasha dan Fadel pernah mengalami perundungan karena fisik yang berbeda dan sering tidak masuk sekolah untuk transfusi darah. “Dulu aku transfusi darah bisa seminggu gak masuk dan itu membuat banyak omongan dari teman-teman. Apalagi jaman SMA dulu banyak yang gak tau tentang talasemia, terus sering dibilang ‘Tasha tukang bolos, Tasha tukang nyogok guru, sering gak masuk tapi nilainya bagus-bagus’. Di situ memang aku merasa titik terendahku, tapi di situ juga aku punya tekad bahwa aku akan buktikan ke orang-orang kalau omongan mereka gak benar. Puji Tuhan, aku bisa lulus dengan baik, aku juga dapat beasiswa, dan akhirnya pada saat kuliah aku bisa membuktikan diriku bahwa aku bisa menggapai mimpi-mimpi,” pungkas Tasha. 

Meski pernah di titik terendah karena talasemia, Tasha dan Fadel menganggap talasemia bukan halangan untuk maju. Justru sebaliknya, menjadi kesempatan bagi mereka untuk memotivasi sesama survivor talasemia dan mengedukasi masyarakat luas mengenai talasemia.

“Aku selalu berpesan, talasemia ini berat, jadi cukup di kami saja kalian jangan,” pesan Fadel.

Pentingnya screening talasemia sebelum menikah

Talasemia merupakan penyakit genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Penyakit ini sulit dikendalikan karena sebagian orang yang membawa sifat talasemia tidak bergejala, namun tetap membawa risiko jika menikah dengan sesama pembawa sifat.

Meski demikian, pembawa sifat talasemia dapat dideteksi dengan screening talasemia. Dr. Anky menegaskan bahwa deteksi dini itu penting, terutama kepada mereka yang memiliki anggota keluarga dengan talasemia. Screening talasemia juga sebaiknya dilakukan oleh para pasangan sebelum menikah. 

“Pembawa sifat yang menikah sama pembawa sifat kemungkinannya melahirkan anak yang memiliki talasemia mayor, ini yang harus kita putus mata rantainya. Kalau kita bisa mendeteksi lebih awal, meskipun Indonesia termasuk dalam sabuk talasemia, dengan screening kita bisa mengurangi jumlah anak-anak yang mengidap talasemia. Jadi, sebelum menikah, periksalah,” tutur Dr. Anky.

Talasemia hingga saat ini belum dapat disembuhkan, namun dapat dicegah dengan melakukan screening talasemia. Dengan memahami pentingnya melakukan screening talasemia sebelum menikah, kita turut mendukung upaya memutus mata rantai talasemia di Indonesia.

Transplantasi sel punca darah pada talasemia pertama di Indonesia

Sebagian besar orang berpikir bahwa pengobatan talasemia terbatas pada transfusi darah ditambah kelasi besi. Namun, kemajuan di bidang ilmu kedokteran memberikan harapan baru untuk mengatasi talasemia melalui transplantasi sel punca darah.

Tzu Chi Hospital menjadi rumah sakit pertama di Indonesia yang melakukan transplantasi sel punca pada anak dengan talasemia pada akhir 2023. Saat ini, Tzu Chi Hospital telah berhasil melakukan prosedur transplantasi pada dua pasien anak, yaitu Assyifa dan Lynn.

“Kita harus akui bahwa saat ini di Indonesia, rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk transplantasi sel punca darah khusus untuk anak-anak hanya ada di Tzu Chi Hospital,” ujar Dr. Edi.

Membentuk Instalasi Transplantasi Sel Punca Darah untuk anak pertama di Indonesia adalah salah satu komitmen Tzu Chi Hospital untuk memberikan pelayanan kesehatan berstandar internasional. Harapannya, masyarakat Indonesia bisa mendapatkan fasilitas kesehatan terbaik tanpa harus pergi jauh ke luar negeri.

Next
Next

Ketahui Asupan Nutrisi untuk Cegah Sarkopenia pada Lansia