Layanan Transplantasi Sumsum Tulang Sudah Dibuka di Tzu Chi Hospital
Awal pekan lalu (20 dan 21 November 2023), transplantasi sumsum tulang atau transplantasi sel punca darah pertama di Tzu Chi Hospital dilakukan untuk pasien anak penderita talasemia beta mayor. Ini merupakan sebuah kabar menggembirakan bagi para orang tua dengan anak penyandang penyakit kelainan dan keganasan darah. Sambutan hangat juga mewarnai kolom komentar media sosial Tzu Chi Indonesia ketika artikel tentang kisah ini dimuat. Ada yang mengungkapkan syukur, ada yang berdoa, ada pula yang berharap satu saat anaknya bisa menjalani pengobatan yang sama.
Mengetahui betapa excitednya tanggapan di luar sana, dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA., Ketua Tim Transplantasi Sel Punca Darah Tzu Chi Hospital ini ikut senang. Pasalnya, tindakan medis ini memang sebuah berkah yang ditunggu oleh banyak orang tua.
“Saya sebagai dokter anak tahu betul bahwa orang tua mana sih yang nggak ingin anaknya sehat? karena di poli saja banyak yang bertanya mengenai tindakan transplant ini. Itu bukan satu dua, ada banyak. Baik itu yang anaknya leukemia, talasemia, atau lainnya. Macam-macam dan (kondisinya) berat-berat sekali. Makanya ini adalah satu angin segar, satu berita yang sangat baik yang dinanti-nantikan oleh orang tua di luar sana. Semoga bisa membantu,” ungkap dr. Edi.
Sedikit Mengenal Talasemia
Mengerucut pada talasemia yang sudah ditangani di Tzu Chi Hospital, menurut penuturan dr. Edi, hingga saat ini pasien talasemia anak di Indonesia ada sekitar 12 ribu jiwa dan diperkirakan akan terus meningkat jumlahnya. Hal tersebut karena belum ada program screening yang menjadi keharusan untuk pasangan pranikah yang bertujuan untuk mendeteksi apakah dalam diri seseorang ini ada gen pembawa sifat talasemia (talasemia minor). Padahal talasemia merupakan suatu penyakit genetik atau keturunan sehingga besar kemungkinan apabila orang tua merupakan pembawa sifat talasemia, anaknya pun akan mengalami talasemia.
Screening ini sebenarnya bisa dilakukan di Indonesia, namun memang biayanya masih tinggi. Kalau dibebankan langsung untuk masyarakat, dr. Edi memperkirakan bahwa, bisa jadi belum semua orang bisa menjangkaunya.
“Screening talasemia ini adalah pemeriksaan darah yang tujuannya untuk mengidentifikasi individu pembawa gen talasemia dan mencegah terjadinya perkawinan sesama pembawa gen yang dapat melahirkan anak dengan talasemia mayor,” jelas dr. Edi. “Sebenarnya bukan dilarang untuk menikah, tapi kami berikan pemahaman bahwa ada risiko yang akan terjadi apabila ada kelahiran anak nantinya. Kalau sudah begitu, kami mengimbau untuk boleh menikah namun tidak memiliki anak. Atau kalau memang mau punya anak, bisa dengan mengadopsi,” lanjutnya.
Dikutip dari website Tzu Chi Hospital, talasemia ini adalah penyakit dimana hemoglobin atau sel darah merah tidak dapat terbentuk secara normal dan mudah pecah hingga menyebabkan anemia. Gejala anemia yang terjadi dapat ringan dan tidak bergejala (pembawa sifat/talasemia minor) hingga berat dan mengancam jiwa (talasemia mayor). Talasemia mayor dapat didiagnosis sejak lahir dan akan memerlukan transfusi darah merah rutin seumur hidupnya.
Namun begitu, transfusi darah dalam jangka waktu yang sangat panjang ini juga memberikan efek samping pada tubuh berkaitan dengan zat besi yang lama kelamaan terus menumpuk dan terdeposit di berbagai organ. Apabila terdeposit di jantung, pasien bisa mengalami gagal jantung. Apabila terdeposit di pankreas, bisa menimbulkan diabetes, dan lain sebagainya.
Solusi lain dalam pengobatan talasemia yakni dengan menjalani transplantasi sel punca darah. Sel punca bisa memproduksi sel darah yang baik dalam tubuh. “Tapi walaupun sudah menjalani transplantasi, itu tidak akan mengubah gen-nya. Gen talasemia tetap ada di si anak. Artinya, apabila dia menikah dengan carier atau penderita, keturunanya akan talasemia,” jelas dr. Edi, “jadi tidak mengubah gen-nya. Yang diubah adalah bahwa dia tidak lagi membutuhkan transfusi setiap bulan sehingga mengurangi risiko akibat penumpukan zat besi di dalam tubuhnya.”
Tim Profesional Dibalik Transplantasi Sel Punca Darah
Menjadi salah satu layanan yang diunggulkan di Tzu Chi Hospital, transplantasi sumsum tulang atau transplantasi sel punca darah ini akhirnya bisa mulai dilakukan. Ini juga menjadi salah satu mimpi dr. Edi yang terwujud. Sejauh ini pun tim dokter, perawat, analis lab, farmasi dan staf lainnya sudah terlatih secara profesional.
“Ya.. The day is coming, the day is today,” ucapnya tersenyum.
Untuk semakin memantapkan langkah, proses transplantasi sel punca darah ini didampingi langsung oleh dr. Chi Cheng Li, Ketua Bone Marrow Transplant Tzu Chi Hospital Hualien, Taiwan.
“Saya rasa ini adalah moment yang sangat penting terutama untuk pasien penerima sel darah punca. Ini bukan suatu perkara yang mudah karena semua ini membutuhkan ilmu yang cukup dan juga tim yang mendukung, kalau di sini termasuk dr. Edi, dr. Anky, dr. Rendi, juga para perawat hingga tim harvest sampai dengan tim pendukung,” tutur dr. Chi Cheng Li.
Dalam hal ini dr. Chi Cheng Li menekankan bahwa transplantasi sel punca darah perlu hardware dan software yang mumpuni. Dari sisi hardware, perlu dibuat ruang steril yang berkualitas tinggi dengan prosesnya sangat ketat. Selain itu, juga perlu alat untuk mengambil sel punca dan menghitung sel punca yang dibutuhkan. Kalau jumlahnya terlalu sedikit, tidak bisa ditanam, sebaliknya apabila jumlahnya terlalu banyak, penerima sel punca tidak tahan. Selain itu, juga perlu alat untuk mendeteksi virus dan kuman. Setelah transplantasi, pasien akan memasuki fase ‘kosong’ selama 2-3 minggu sementara sel darah putih di tubuh pasien sangat-sangat sedikit, sangat gampang terinfeksi oleh kuman atau bakteri. Oleh karena itu perlu alat-alat untuk mendeteksi bakteri-bakteri lebih awal.
Sementara itu, software terdiri dari tim dokter utama, dr Edi, dr. Anky, dr. Rendi yang sudah dari awal berkomunikasi dengan tim Tzu Chi Hospital Hualien. Sebelumnya, para perawat juga tim medis yang lain perlu mempelajari bagaimana perawatan setelah transplantasi.
“Dokter Edi bersama timnya juga sudah belajar ke Hualien, jadi untuk soal keterampilan sudah terbentuk dan tidak perlu diragukan lagi. Jadi penanganan kali ini telah menggerakkan seluruh tim rumah sakit dan ini sangat luar biasa,” puji dr. Chi Cheng Li. Ia pun berharap ke depannya Tzu Chi Hospital bisa membantu lebih banyak orang lagi melalui tindakan medis ini.
Langkah ke Depan
Lantas menyoroti masih sangat terbatasnya kecocokan antara donor dan penerimanya berkaitan dengan hubungan sekandung, dr. Chi Cheng Li memberikan beberapa solusi yang ke depannya bisa ditempuh di Indonesia.
Solusi pertama adalah dengan mendirikan bank data sumsum tulang di Indonesia, sama seperti yang dilakukan Hualien yang kini sudah menjadi bank data sumsum tulang terbaik di seluruh dunia. Transplantasi sumsum tulang di Taiwan dimulai sejak tahun 1983. Hingga sekarang, kasus transplantasi di Taiwan sudah mencapai lebih dari 10 ribu. Dari bank data sumsum tulang Tzu Chi sendiri, Tzu Chi telah berhasil menyumbangkan untuk lebih dari 6.000 pasien yang bukan hanya untuk warga Taiwan tetapi untuk pasien luar negeri.
“Jadi dalam bidang ini, bisa dikatakan kami sudah mempunyai pengalaman yang cukup matang sehingga kami berharap kita bisa berbagi teknik dan pengalaman ini untuk rekan-rekan di Tzu Chi Hospital atau pun rumah sakit lainnya di Indonesia,” kata dr. Chi Cheng Li.
Solusi kedua, yakni dengan Haploidentical HSCT (Half-matched Stem Cell Transplants), yaitu transplantasi sel punca yang tingkat kecocokannya hanya 50 persen. Dokter Chi Cheng Li mencontohkan, misalnya ada anak kecil yang membutuhkan transplantasi, ayah atau ibunya boleh mendonorkan sel puncanya karena tingkat kecocokan sel punca anak dengan ayah atau ibu sebesar 50 persen. Tentunya hal ini berrisiko tinggi dan kemungkinan tidak bisa ditanam atau terlalu kuat sehingga tubuh anaknya tidak bisa menahan. Namun dr. Chi Cheng Li melanjutkan, dalam bidang medis sekarang, semakin banyak cara transplantasi yang juga semakin maju. Tzu Chi Hospital Hualien pun semakin matang dalam menjalankan teknik ini.
“Mudah-mudahan tahun depan kita bisa membawakan teknik Haploidentical HSCT ke Indonesia untuk berbagi dengan tim dr. Edi. Dengan begitu, pasien-pasien yang tidak menemukan sel punca yang cocok juga bisa melakukan transplantasi (dari sel punca ayah atau ibunya),” harapnya.
Berbagai kabar baik yang terus muncul ini seperti membawa harapan yang tak pernah padam untuk para pasien kelainan dan keganasan darah di Indonesia. Dokter Edi melalui Tzu Chi Hospital pun merasa terhormat bisa membantu dan berkesempatan menolong masyarakat luas di luar sana dengan metode pengobatan yang semakin maju dari masa ke masa.
“Ke depannya ya apa yang kita lakukan kan untuk anak-anak bangsa, kita lakukan. Apalagi untuk membantu membangun negara ini kan tidak harus menjadi pegawai pemerintah baru bisa berkontribusi. Siapapun bisa membantu, kebetulan kami ada di sini dan inilah yang bisa kami lakukan untuk membantu bangsa dan negara, untuk anak-anak. Ya ini kontribusi yang bisa kami berikan melalui teknologi. Semoga bisa menginspirasi teman-teman di luar sana,” pungkas dr. Edi.
Jurnalis : Metta Wulandari
Fotografer : Metta Wulandari, Li Zhenni (Tzu Chi Hospital Hualien)
Editor. : Khusnul Khotimah